Kamis, 19 Oktober 2017

ANTIHISTAMIN

ANTIHISTAMIN



Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan berbagai proses patologik. Antihistamin adalah obat yang bekerja mengantagonis aksi dari histamin.Histamin pada manusia adalah mediator penting untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan modulator
Efek histamin adalah pada organ sasaran, direk atau indirek terhadap aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel efektor yang berperan pada penyakit alergi. Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel 
mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel.

Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H1), histamin 2 (H2) dan histamin 3 (H3).
Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses  patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin. Sejak penemuan antihistamin pada awal tahun 1940, antihistamin sangat terkenal diantara pasien dan dokter. Antara tahun 1940-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin digolongkan menjadi anti histamin penghambat reseptor H(AH1), penghambat reseptor H2 (AH2), penghambat reseptor H3 (AH3). 


1.     Etilendiamin.
·        Etilendiamin mempunyai efek samping penekanan CNS dan gastro intestinal.  
·        Antihistamin tipe piperazin, imidazolin dan fenotiazin mengandung bagian etilendiamin.
·     Pada kebanyakan molekul obat adanya  nitrogen kelihatannya merupakan kondisi yang diperlukan untuk pembentukan garam yang stabil dengan asam mineral. 
·       Gugus amino alifatik dalam etilen diamin cukup basis untuk pembentukan garam, akan tetapi atom N yang diikat pada cincin aromatik sangat kurang basis.
·        Elektron bebas pada nitrogen aril di delokalisasi oleh cincin aromatik.

Adanya penurunan kerapatan elektron pada N, menjadi kurang basis dan protonasi pada posisi ini berlangsung lambat.
Beberapa contoh antihistamin turunan etilediamin:

1.Tripelenamin sitrat USP, Pyribenzamin citrate; PPZ; 2-benzil [{2-(dimetil-amino)-etil}amino]

    piridin dihidrogen sitrat (1:1)

Merupakan turunan fenbenzamin dengan satu penggantian isosterik sederhana, yaitu gugus fenil diganti dengan gugus piridil. 
Penggaraman dengan asam sitrat, karena garam sitrat kurang pahit dibanding garam HCl, sehingga rasanya lebih enak. 
Karena berbeda bobot molekulnya dosis kedua garam harus disetarakan: 30 mg garam sitrat setara dengan 20 mg garam hidrokloridanya. 

2. Tripelenamin Hidroklorida
Garam tripelenamin HCl merupakan serbuk kristal putih dan akan berubah menjadi gelap dengan adanya cahaya.
Garam yang larut dalam air (1: 0,77) dan dalam alkohol (1:6). Mempunyai pKa sekitar 9 , pada larutan 0,1 % merupakan pH 5,5.
Jika diberikan per oral, absorbsinya baik dan efektifitasnya sama dengan difenhidramin dan reaksi sampingnya lebih sedikit dan lebih ringan.
Menyebabkan kantuk dan harus dihindarkan pemakaian dengan minuman beralkohol.
3. Pirilamin Maleat USP ; 2-[(2-dimetilaminoetil-9-
               p-metoksibenzil) amino] piridil  bimaleat
Basa bebas berbentuk seperti minyak, tersedia sebagai garam asam maleat., yang berupa serbuk kristal putih dengan sedikit bau, berasa pahit dan asin. 
Merupakan antihistamin yang kurang poten, tetapi poten dalam meng-antagonis kontraksi terinduksi histamin pada ileum marmot. 
Karena mempunyai daya anestetika lokal, tidak boleh dikunyak harus bersama makanan.

4. Metapirilen HCL USP ;  Histadyl HCL;  
       2-[(dimetilamino- etil) (2- tienil)-amino 
       piridin monohidroklorida
Berupa  serbuk kristalin putih, rasa pahit, larut dalam
     air, alkohol dan kloroform, larutannya mempunyai
     pH 5,5. 
Cincin tiofen dianggap isosterik dengan cincin benzena
     dan isoster ini memperlihatkan aktivitas yang sama. Konformasi trans-metapirilen lebih disukai untuk dua 
      atom nitrogen etilen diamina. 
FDA pada tahun 1979 menarik produk yang mengan-
      dung metapirilen karena menyebabkan kanker.
5. Tonzilamin HCL;  2-[ Z(2-dimetilaminoetil) (p-
     metoksi- benzil) amino] pirimidin  hidroklorida
Berupa  serbuk kristalin, larut dalam air , alkohol dan kloroform. 
Larutannya  2% dalam air mempunyai pH 5,5. 
Aktivitasnya sama dengan tripelenamin tetapi kurang toksis.
Dosis lazim : 50 mg, 4 kali sehari

2.     Turunan Propilamin
·        Anggota kelompok yang jenuh disebut sebagai feniramin yang merupakan molekul khiral. 
·        Turunan tersubstitusi halogen dapat diputuskan dengan kristalisaasi dari garam yang dibentuk dengan d-asam tartrat.
·        Antihistamin golongan ini merupakan antagonis H1 yang paling aktif.
·        Mereka tidak cenderung membuat kantuk, tetapi beberapa pasien mengalami efek ini. 
·        Pada anggota yang tidak jenuh, sistem ikatan rangkap dua aromatik yang koplanar Ar – C = CH-CH2 - N  faktor penting untuk aktivitas antihistamin. 
·        Gugus pirolidin adalah rantai samping amin tersier pada senyawa yang lebih aktif.
·        Pada anggota alkena (tidak jenuh), aktivitas antihistamin konfigurasi E berbeda sangat menyolok dibandingkan dengan  konfigurasi Z, sebagai contoh: E-Pirobutamin sekitar 165 kali lebih poten dari pada Z-Pirobutamin;  
·        E-Triprolidin aktivitasnya sekitar  1000 kali lebih poten dibandingkan dengan Z-triprolidin. 
·        Perbedaan ini  dikarenakan jarak antara amina alifatik tersier dengan salah satu cincin aromatik sekitar 5-6 Ao, yang jarak tersebut diperlukan dalam ikatan sisi reseptor. 
Beberapa turunan propilamin antara lain :
a.     Feniramin maleat; Avil ; Trimeton; Inhiston maleat
·        Berupa garam yang berwarna putih dengan sedikit bau seperti amin yang larut dalam air, dan alkohol.
·        Feniramin maleat merupakan anggota seri yang paling kecil potensinya dan dipasarkan sebagai rasemat .  
·        Dosis lazim : 20 – 40 mg, sehari 3 kali

b.    Klorfeniramin maleat ;  Chlortrimeton
      maleat; CTM ; Pehachlor
·        Berupa puder kristalin putih, larut dalam air, alkohol dan kloroform. Mempunyai pKa 9,2 dan larutannya dalam air memounyai pH 4-5. 
·        Klorinasi ferinamin pada posisi para dari cincin fenil memberikan kenaikan potensi 10 x dengan perubahan toksisitas tidak begitu besar.
·        Hampir semua aktivitas antihistamin terletak pada enantiomorf dektro. Dektro-klor dan brom feniramin lebih kuat daripada levonya.

c.      Dekstroklorfeniramin maleat = Polaramine maleat
·        merupakan enantiomer klorfeniramin yang memutar kekanan. Isomer ini aktivitas anti histaminnya paling dominan dan mempunyai konfigurasi S yang super imposable pada konfigurasi S enantiomorf karbinok-samin levorotatori yang lebih aktif.
d.    Bromfeniramin maleat = Dometane maleat
Kegunaan sama dengan klorfeniramin maleat senyawa ini mempunyai waktu kerja yang panjang dan efektif dalam dosis 50 x lebih kecil daripada dosis tripelenamin.

3.     Eter amino alkil ( Etanolamin eter)
·        Senyawa-senyawa yang paling aktif mempunyai panjang rantai dua atom C. Kuarterinisasi nitrogen rantai  samping tidak selalu menghasilkan senyawa yang kurang aktif.  
·        Golongan ini mempunyai aktivitas antikolinergik nyata, yang mempertinggi aksi pengeblokan reseptor H1  pada sekresi eksokrin. 
·        Efek samping pemakaian eter amino alkil tersier adalah mengantuk, sehingga dipergunakan sebagai pem-bantu tidur pada obat tanpa resep.
·        Golongan ini dapat mengganggu penampilan tugas  pasien yang memerlukan ketahanan mental 

ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H1 (AH1)
Antihistamin Hmerupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan antihistamin H1. Dulu, antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1lebih digolongkan sebagai inverse agonistketimbang antagonis reseptor histamin H1. Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik. 
 Struktur Kimia
Struktur dasar AH1 adalah sebagai berikut :
ArH
X – CH2 – CH2 – N
Ar2 H
Dengan Ar = aril dan X dapat diganti dengan N, C, atau – C – O -. Pada struktur AH1 ini terdapat gugus etilamin yang juga ditemukan pada rumus

Penggolongan Antihistamin H(AH1
Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Tabel II.1. Penggolongan Antihistamin H1 (AH1)
Antihistamin ( AH1) Generasi Pertama
Azatadine
Azelastine
Brompheniramine
Chlorpheniramine
Clemastine
Cyproheptadine
Dexchlorpheniramine
Hydroxyzine
Promethazine
Tripelennamine

Antihistamin ( AH1) Generasi Kedua
Cetirizine
Loratadine

Antihistamin ( AH1) Generasi Ketiga
Fexofenadine
Desloratadine
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.

Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa  metabolit (desloratadine dan fexofenadine)  dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal.


Farmakologi
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamin H1 ini bisa mengurangi permeabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa  menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast atau membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitrodesloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.4
Selain itu efek yang dihasilkan dari antihistamin H1 antara lain :
1.     Efek sedasi
Antihistamin H1 generasi pertama memiliki efek sedasi yang cukup besar sehingga berguna sebagai bantuan tidur dan tidak sesuai untuk penggunaan pada siang hari. Pada anak – anak (dan jarang terjadi pada dewasa) menimbulkan eksitasi daripada sedasi. Pada dosis toksik yang tinggi dapat menyebabkan agitasi, kejang, dan koma. Sedangkan Antihistamin Hgenerasi kedua hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak mempunyai kerja sedatif atau stimulasi. Obat antihistamin Hgenerasi kedua (atau metabolitnya) juga mempunyai efek autonomik yang lebih sedikit dari antihistamin H1generasi pertama.
2.     Efek anti mual dan anti muntah
Beberapa antihistamin H1 generasi pertama mempunyai aktivitas bermakna dalam mencegah terjadinya motion sickness (mabuk kendaraan), tetapi kurang efektif jika sudah terjadi mabuk.
3.     Efek anti parkinsonisme
Diduga karena efek antikolinergik, beberapa antihistamin H1 mempunyai efek supresi akut yang bermakna pada gejala – gejala parkinsonisme yang dikaitkan dengan penggunaan obat parkinsonisme tersebut.
4.     Kerja antikolinoseptor
Banyak agen dari generasi pertama, khususnya subgrup ethanolamine dan ethylendiamine, mempunyai efek menyerupai atropin yang bermakna pada reseptor muskarinik perifer.
5.     Kerja penyekat adrenoseptor
Efek penyekat reseptor alfa dapat dibuktikan untuk beberapa antihistamin H1, khususnya di dalam subgrup phenothiazine, misalnya promethazine. Kerja tersebut dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik pada orang-orang yang rentan. Penyekatan terhadap reseptor beta tidak terjadi.
6.     Kerja penyekat serotonin
Efek penyekatan yang kuat terhadap reseptor serotonin telah dibuktikan pada beberapa generasi pertama antihistamin H1, terutama cyproheptadine. Obat tersebut digunakan sebagai antiserotonin, tetapi obat tersebut mempunyai struktur kimia yang menyerupai antihistamin phenothiazine dan merupakan suatu obat penyekat H1 yang kuat.
7.     Anestesi lokal
Antihistamin H1 generasi pertama merupakan anestesi lokal yang efektif karena menyekat kanal kalsium di membran yang eksitabel. Diphenhidramine dan promethazine kadang digunakan sebagai anestesi lokal pada pasien alergi terhadap obat-obat anestetik lokal yang konvensional. 

Efek Samping
Pada dosis terapi, semua antihistamin H1menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam toleransi obat antar individu, kadang-kadang efek samping ini sangat mengganggu sehingga terapi perlu dihentikan.1
Efek Samping Antihistamin H1 Generasi Pertama :
1.     Alergi : fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2.    Kardiovaskular : hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada sisi injeksi (IV prometazin)
3.    Sistem Saraf Pusat : drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
4.    Gastrointestinal : epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
5.    Genitourinari : urinary frequency, dysuria, urinary retention
6.    Respiratori : dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal spray)
Antihistamin Generasi kedua dan ketiga :
1.     Alergi : fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2.    SSP : mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
3.    Respiratori : mulut kering
4.    Gastrointestinal : nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)
Efek samping SSP sebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama. Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi pertama. 4
Beberapa efek samping lain dari antihistamin :
1.     Efek sedasi
Dari hasil penelitian oleh perocek, dibandingkan difenhidramin 2×50 mg dengan loratadine dosis tunggal 20 mg. Hasilnya memperlihatkan efek sedasi difenhidramin lebih besar dibanding loratadine. Jadi loratadine tidak mempengaruhi kemampuan mengendarai, tingkat kewaspadaan siang hari dan produktifitas kerja. Juga loratadin menghilangkan gejala rhinitis alergi musiman secara efektif dan absorbsi oralnya sangat cepat serta memiliki masa kerja yang panjang, sehingga cukup diberikan sekali dalam sehari.
2.     Gangguan psikomotorYaitu gangguan dalam pekerjaan yang melibatkan fungsi psikomotor, merupakan masalah yang menjadi perhatian dalam terapi yang menggunakan antihistamin. Efek samping terlihat saat pasien melakukan kegiatan dengan resiko fisik seperti mengendarai mobil, berenang, gulat, atau melakukan pekerjaan tangan. Gangguan fungsi psikomotor adalah efek yang berbeda dari terjadinya sedasi (rasa mengantuk).

3.     Gangguan kognitif
Adalah gangguan terhadap kemampuan belajar, konsentrasi atau ketrampilan di tempat bekerja. Dari hasil penelitian memperlihatkan antihistamin generasi pertama terutama difenhidramin menyebabkan gangguan kemampuan belajar, konsentrasi, atau ketrampilan di tempat kerja. Sedangkan loratadin meniadakan efek negative dari hinitis alergi terhadap kemampuan belajar.
4.     Efek kardiotoksisitas
Antihistamin selama ini dianggap sebagai obat yang aman, tetapi sejak akhir tahun 80-an mulai muncul beberapa jenis antihistamin yang digunakan dengan dosis yang berlebihan. Sehingga dapat menyebabkan pasien yang menggunakan mengalami gangguan pada jantung (kardiotoksisitas).

Kontraindikasi 
Antihistamin generasi pertama:
1.     Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural
2.    Bayi baru lahir atau premature
3.    Ibu menyusui
4.    Narrow-angle glaucoma
5.    Stenosing peptic ulcer
6.    Hipertropi prostat simptomatik
7.    Bladder neck obstruction
8.    Penyumbatan pyloroduodenal
9.    Gejala saluran napas atas (termasuk asma)
10. Pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI)
11. Pasien tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga :
Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural 

ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H2 (AH2)
     Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung, perangsangan jantung. Beberapa jaringan seperti otot polos pembuluh darah mempunyai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.
     Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial antihistamin H2cimetidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine ditemukan pula sebagai antihistamin H2. Baik simetidin maupun raditidin diberikan dalam bentuk oral untuk mengobati penyakit kulit. Kedua obat tersedia dalam bentuk injeksi intramuskular dan intravena. 
STRATEGI TERAPI ANTIHISTAMIN ” AM-PM”
          Keputusan untuk memilih suatu antihistamin untuk mengatasi gangguan alergi semisal rhinitis alergica atau urtikaria idiosinkratik kronik harus berdasarkan pada harga, frekuensi dosis, ketersediaan, kontraindikasi, dan efek samping. Semua antihistamin generasi pertama kini telah ada dalam sediaan generik serta sediaan OTC dengan harga lebih murah. Namun tidak demikian halnya dengan antihistamin generasi kedua dan ketiga. Masalah perbedaan harga ini menjadi suatu pertimbangan.
          Meski sedikit lebih mahal, antihistamin generasi kedua dan ketiga secara klinis menunjukkan efikasi tanpa efek sedatif yang menjadi karakteristik dari generasi pertama. Sebenarnya rasa sedasi dan drowsiness sangatlah subjektif, hanya dirasakan oleh individu dan tidak bisa jadi bukti klinis. Sebuah studi mengevaluasi efek fexofenadine, diphenhydramine, alkohol, dan placebo terhadap kemampuan mengendarai. Subjek yang memperoleh  fexofenadine mampu mengendarai selayaknya placebo. Sedang subjek yang menerima diphenhydramine memiliki kemampuan mengendarai paling buruk, diikuti dengan subjek yang menerima alcohol.

DAFTAR PUSTAKA
1.     Udin Sjamsudin, Hedi RD : Histamin dan Antihistamin dalam Farmakologi Dan Terapi ,edisi 4, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta, 1995, p. 252-260.
2.    Rengganis Iris : Alergi Merupakan Penyakit Sistemik : Cermin Dunia Kedokteran 2004; 142: 42-45.
3.    Del Rosso Q. James : Antihistamines dalam Systemic Drugs For Skin Disease, W.B. Saunders Company, United States of America, 1991, p.285-316.
4.    Andra : Optimalisasi terapi Antihistamin dalam Majalah Farmacia, Volume 6, Jakarta, 2006, p.64.
5.    Sjabana Dripa : Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta, 2005, p. 467-487.


Diskusi :
1.     apakah obat antihistamin bisa digunkan sebagai terapi swamedikasi ? tanpa ada resep dokter??
2.    Antuhistamin memiliki beberapa efek samping , bagaimana cara agar efek samping nya berkurang saat mengkonsumsi obat tsb?
    
    


3.Apa saja sel-sel penghasil Histamine apabila terjadi inflamasi local?
   
4bagaimana cara mencegah dan mengatasi efek samping dari obat ini?
    
5.apa saja farktor utama yang menyebabkan terjadinya efek samping?
   
6. bagaimana rute pemberian obat yang dapat menimbulkan terjadinya syok anafilaksis pada pasien yang sensistif?







ANTIHISTAMIN

ANTIHISTAMIN Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan berbagai proses patologik. Antihist...

OXAMNIQUINE