ANTIHISTAMIN
Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel
mast, dan menimbulkan berbagai proses patologik. Antihistamin adalah obat yang bekerja mengantagonis aksi dari histamin.Histamin pada manusia adalah
mediator penting untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi,
mempunyai peranan penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai
neurotransmitter dan modulator
Efek histamin adalah pada organ
sasaran, direk atau indirek terhadap aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel
efektor yang berperan pada penyakit alergi. Histamin berinteraksi dengan
reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan
pada sel basofil, sel
mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel
epitel dan endotel.
Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H1),
histamin 2 (H2) dan histamin 3 (H3).
Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses patologik, maka dicarikan obat yang dapat
mengantagonis efek histamin. Sejak penemuan antihistamin pada awal tahun 1940,
antihistamin sangat terkenal diantara pasien dan dokter. Antara tahun
1940-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam
terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin digolongkan menjadi
anti histamin penghambat reseptor H1 (AH1),
penghambat reseptor H2 (AH2), penghambat reseptor H3 (AH3).
1. Etilendiamin.
· Etilendiamin mempunyai efek samping penekanan CNS dan gastro intestinal.
· Antihistamin tipe piperazin, imidazolin dan fenotiazin mengandung bagian etilendiamin.
· Pada kebanyakan molekul obat adanya nitrogen kelihatannya merupakan kondisi yang diperlukan untuk pembentukan garam yang stabil dengan asam mineral.
· Gugus amino alifatik dalam etilen diamin cukup basis untuk pembentukan garam, akan tetapi atom N yang diikat pada cincin aromatik sangat kurang basis.
· Elektron bebas pada nitrogen aril di delokalisasi oleh cincin aromatik.
Adanya penurunan kerapatan elektron pada N, menjadi kurang basis dan protonasi pada posisi ini berlangsung lambat.
Beberapa contoh antihistamin turunan etilediamin:
1.Tripelenamin sitrat USP, Pyribenzamin citrate; PPZ; 2-benzil [{2-(dimetil-amino)-etil}amino]
piridin dihidrogen sitrat (1:1)
Merupakan turunan fenbenzamin dengan satu penggantian isosterik sederhana, yaitu gugus fenil diganti dengan gugus piridil.
Penggaraman dengan asam sitrat, karena garam sitrat kurang pahit dibanding garam HCl, sehingga rasanya lebih enak.
Karena berbeda bobot molekulnya dosis kedua garam harus disetarakan: 30 mg garam sitrat setara dengan 20 mg garam hidrokloridanya.
2. Tripelenamin Hidroklorida
Garam tripelenamin HCl merupakan serbuk kristal putih dan akan berubah menjadi gelap dengan adanya cahaya.
Garam yang larut dalam air (1: 0,77) dan dalam alkohol (1:6). Mempunyai pKa sekitar 9 , pada larutan 0,1 % merupakan pH 5,5.
Jika diberikan per oral, absorbsinya baik dan efektifitasnya sama dengan difenhidramin dan reaksi sampingnya lebih sedikit dan lebih ringan.
Menyebabkan kantuk dan harus dihindarkan pemakaian dengan minuman beralkohol.
3. Pirilamin Maleat USP ; 2-[(2-dimetilaminoetil-9-
p-metoksibenzil) amino] piridil bimaleat
Basa bebas berbentuk seperti minyak, tersedia sebagai garam asam maleat., yang berupa serbuk kristal putih dengan sedikit bau, berasa pahit dan asin.
Merupakan antihistamin yang kurang poten, tetapi poten dalam meng-antagonis kontraksi terinduksi histamin pada ileum marmot.
Karena mempunyai daya anestetika lokal, tidak boleh dikunyak harus bersama makanan.
4. Metapirilen HCL USP ; Histadyl HCL;
2-[(dimetilamino- etil) (2- tienil)-amino
piridin monohidroklorida
Berupa serbuk kristalin putih, rasa pahit, larut dalam
air, alkohol dan kloroform, larutannya mempunyai
pH 5,5.
Cincin tiofen dianggap isosterik dengan cincin benzena
dan isoster ini memperlihatkan aktivitas yang sama. Konformasi trans-metapirilen lebih disukai untuk dua
atom nitrogen etilen diamina.
FDA pada tahun 1979 menarik produk yang mengan-
dung metapirilen karena menyebabkan kanker.
5. Tonzilamin HCL; 2-[ Z(2-dimetilaminoetil) (p-
metoksi- benzil) amino] pirimidin hidroklorida
Berupa serbuk kristalin, larut dalam air , alkohol dan kloroform.
Larutannya 2% dalam air mempunyai pH 5,5.
Aktivitasnya sama dengan tripelenamin tetapi kurang toksis.
Dosis lazim : 50 mg, 4 kali sehari
2. Turunan Propilamin
· Anggota kelompok yang jenuh disebut sebagai feniramin yang merupakan molekul khiral.
· Turunan tersubstitusi halogen dapat diputuskan dengan kristalisaasi dari garam yang dibentuk dengan d-asam tartrat.
· Antihistamin golongan ini merupakan antagonis H1 yang paling aktif.
· Mereka tidak cenderung membuat kantuk, tetapi beberapa pasien mengalami efek ini.
· Pada anggota yang tidak jenuh, sistem ikatan rangkap dua aromatik yang koplanar Ar – C = CH-CH2 - N faktor penting untuk aktivitas antihistamin.
· Gugus pirolidin adalah rantai samping amin tersier pada senyawa yang lebih aktif.
· Pada anggota alkena (tidak jenuh), aktivitas antihistamin konfigurasi E berbeda sangat menyolok dibandingkan dengan konfigurasi Z, sebagai contoh: E-Pirobutamin sekitar 165 kali lebih poten dari pada Z-Pirobutamin;
· E-Triprolidin aktivitasnya sekitar 1000 kali lebih poten dibandingkan dengan Z-triprolidin.
· Perbedaan ini dikarenakan jarak antara amina alifatik tersier dengan salah satu cincin aromatik sekitar 5-6 Ao, yang jarak tersebut diperlukan dalam ikatan sisi reseptor.
Beberapa turunan propilamin antara lain :
a. Feniramin maleat; Avil ; Trimeton; Inhiston maleat
· Berupa garam yang berwarna putih dengan sedikit bau seperti amin yang larut dalam air, dan alkohol.
· Feniramin maleat merupakan anggota seri yang paling kecil potensinya dan dipasarkan sebagai rasemat .
· Dosis lazim : 20 – 40 mg, sehari 3 kali
b. Klorfeniramin maleat ; Chlortrimeton
maleat; CTM ; Pehachlor
· Berupa puder kristalin putih, larut dalam air, alkohol dan kloroform. Mempunyai pKa 9,2 dan larutannya dalam air memounyai pH 4-5.
· Klorinasi ferinamin pada posisi para dari cincin fenil memberikan kenaikan potensi 10 x dengan perubahan toksisitas tidak begitu besar.
· Hampir semua aktivitas antihistamin terletak pada enantiomorf dektro. Dektro-klor dan brom feniramin lebih kuat daripada levonya.
c. Dekstroklorfeniramin maleat = Polaramine maleat
· merupakan enantiomer klorfeniramin yang memutar kekanan. Isomer ini aktivitas anti histaminnya paling dominan dan mempunyai konfigurasi S yang super imposable pada konfigurasi S enantiomorf karbinok-samin levorotatori yang lebih aktif.
d. Bromfeniramin maleat = Dometane maleat
Kegunaan sama dengan klorfeniramin maleat senyawa ini mempunyai waktu kerja yang panjang dan efektif dalam dosis 50 x lebih kecil daripada dosis tripelenamin.
3. Eter amino alkil ( Etanolamin eter)
· Senyawa-senyawa yang paling aktif mempunyai panjang rantai dua atom C. Kuarterinisasi nitrogen rantai samping tidak selalu menghasilkan senyawa yang kurang aktif.
· Golongan ini mempunyai aktivitas antikolinergik nyata, yang mempertinggi aksi pengeblokan reseptor H1 pada sekresi eksokrin.
· Efek samping pemakaian eter amino alkil tersier adalah mengantuk, sehingga dipergunakan sebagai pem-bantu tidur pada obat tanpa resep.
· Golongan ini dapat mengganggu penampilan tugas pasien yang memerlukan ketahanan mental
ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H1 (AH1)
Antihistamin
H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di
seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan
dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam
penggolongan antihistamin H1. Dulu, antihistamin-H1 dikenal
sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini, seiring
perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1lebih
digolongkan sebagai inverse
agonistketimbang antagonis reseptor histamin H1. Suatu
obat disebut sebagai inverse
agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan
agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas
intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan
suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor
atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu
antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas
intrinsik.
Struktur Kimia
Struktur dasar AH1 adalah
sebagai berikut :
Ar1 H
X – CH2 – CH2 –
N
Ar2 H
Dengan Ar = aril dan X dapat diganti
dengan N, C, atau – C – O -. Pada struktur AH1 ini terdapat
gugus etilamin yang juga ditemukan pada rumus
Penggolongan Antihistamin H1 (AH1)
Sebelumnya
antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni
etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin.
Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya
menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal
dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni
generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Tabel II.1. Penggolongan Antihistamin
H1 (AH1)
Antihistamin ( AH1) Generasi Pertama
|
|
Azatadine
|
|
Azelastine
|
|
Brompheniramine
|
|
Chlorpheniramine
|
|
Clemastine
|
|
Cyproheptadine
|
|
Dexchlorpheniramine
|
|
Hydroxyzine
|
|
Promethazine
|
|
Tripelennamine
|
Antihistamin ( AH1) Generasi Kedua
|
|
Cetirizine
|
|
Loratadine
|
Antihistamin ( AH1) Generasi Ketiga
|
|
Fexofenadine
|
|
Desloratadine
|
Generasi
pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih
menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal
ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada
sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu,
generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma,
sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan
generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit
(desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine).
Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin
yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal.
Farmakologi
Sebagai inverse
agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama
dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada
pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamin H1 ini
bisa mengurangi permeabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi
otot polos saluran cerna serta napas. Secara klinis, antihistamin H1 generasi
pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase
awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing.
Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang
terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu
antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih
baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa
menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di
samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni
sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi
pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium
melintasi sel mast atau membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion
kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja
pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet
activating factor.
Antihistamin H1 diduga
juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitrodesloratadine,
suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan,
desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti
menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1)
oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan
imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa
desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada
beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak
ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu
dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.4
Selain itu efek yang
dihasilkan dari antihistamin H1 antara lain :
1. Efek sedasi
Antihistamin H1 generasi
pertama memiliki efek sedasi yang cukup besar sehingga berguna sebagai bantuan
tidur dan tidak sesuai untuk penggunaan pada siang hari. Pada anak – anak (dan
jarang terjadi pada dewasa) menimbulkan eksitasi daripada sedasi. Pada dosis
toksik yang tinggi dapat menyebabkan agitasi, kejang, dan koma. Sedangkan
Antihistamin H1 generasi kedua hanya mempunyai sedikit atau
bahkan tidak mempunyai kerja sedatif atau stimulasi. Obat antihistamin H1 generasi
kedua (atau metabolitnya) juga mempunyai efek autonomik yang lebih sedikit dari
antihistamin H1generasi pertama.
2. Efek anti mual dan anti
muntah
Beberapa antihistamin H1 generasi
pertama mempunyai aktivitas bermakna dalam mencegah terjadinya motion sickness
(mabuk kendaraan), tetapi kurang efektif jika sudah terjadi mabuk.
3. Efek anti parkinsonisme
Diduga karena efek
antikolinergik, beberapa antihistamin H1 mempunyai efek supresi
akut yang bermakna pada gejala – gejala parkinsonisme yang dikaitkan dengan
penggunaan obat parkinsonisme tersebut.
4. Kerja antikolinoseptor
Banyak agen dari generasi
pertama, khususnya subgrup ethanolamine dan ethylendiamine, mempunyai efek
menyerupai atropin yang bermakna pada reseptor muskarinik perifer.
5. Kerja penyekat
adrenoseptor
Efek penyekat reseptor
alfa dapat dibuktikan untuk beberapa antihistamin H1, khususnya di
dalam subgrup phenothiazine, misalnya promethazine. Kerja tersebut dapat
mengakibatkan hipotensi ortostatik pada orang-orang yang rentan. Penyekatan
terhadap reseptor beta tidak terjadi.
6. Kerja penyekat serotonin
Efek penyekatan yang kuat
terhadap reseptor serotonin telah dibuktikan pada beberapa generasi pertama
antihistamin H1, terutama cyproheptadine. Obat tersebut digunakan
sebagai antiserotonin, tetapi obat tersebut mempunyai struktur kimia yang
menyerupai antihistamin phenothiazine dan merupakan suatu obat penyekat H1 yang
kuat.
7. Anestesi lokal
Antihistamin H1 generasi
pertama merupakan anestesi lokal yang efektif karena menyekat kanal kalsium di
membran yang eksitabel. Diphenhidramine dan promethazine kadang digunakan
sebagai anestesi lokal pada pasien alergi terhadap obat-obat anestetik lokal yang
konvensional.
Efek
Samping
Pada dosis terapi, semua
antihistamin H1menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi
yang besar dalam toleransi obat antar individu, kadang-kadang efek samping ini
sangat mengganggu sehingga terapi perlu dihentikan.1
Efek Samping Antihistamin
H1 Generasi Pertama :
1. Alergi :
fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. Kardiovaskular :
hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada sisi
injeksi (IV prometazin)
3. Sistem Saraf Pusat :
drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung, reaksi
extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
4. Gastrointestinal :
epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
5. Genitourinari : urinary
frequency, dysuria, urinary retention
6. Respiratori : dada sesak,
wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal spray)
Antihistamin Generasi
kedua dan ketiga :
1. Alergi :
fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. SSP : mengantuk/
drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
3. Respiratori : mulut
kering
4. Gastrointestinal :
nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)
Efek samping SSP
sebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang tampak lebih
sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama. Efek
samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi
pertama. 4
Beberapa efek samping
lain dari antihistamin :
1. Efek sedasi
Dari hasil penelitian
oleh perocek, dibandingkan difenhidramin 2×50 mg dengan loratadine dosis
tunggal 20 mg. Hasilnya memperlihatkan efek sedasi difenhidramin lebih besar
dibanding loratadine. Jadi loratadine tidak mempengaruhi kemampuan mengendarai,
tingkat kewaspadaan siang hari dan produktifitas kerja. Juga loratadin
menghilangkan gejala rhinitis alergi musiman secara efektif dan absorbsi
oralnya sangat cepat serta memiliki masa kerja yang panjang, sehingga cukup
diberikan sekali dalam sehari.
2. Gangguan psikomotorYaitu gangguan dalam
pekerjaan yang melibatkan fungsi psikomotor, merupakan masalah yang menjadi
perhatian dalam terapi yang menggunakan antihistamin. Efek samping terlihat
saat pasien melakukan kegiatan dengan resiko fisik seperti mengendarai mobil,
berenang, gulat, atau melakukan pekerjaan tangan. Gangguan fungsi psikomotor adalah
efek yang berbeda dari terjadinya sedasi (rasa mengantuk).
3. Gangguan kognitif
Adalah gangguan terhadap
kemampuan belajar, konsentrasi atau ketrampilan di tempat bekerja. Dari hasil
penelitian memperlihatkan antihistamin generasi pertama terutama difenhidramin
menyebabkan gangguan kemampuan belajar, konsentrasi, atau ketrampilan di tempat
kerja. Sedangkan loratadin meniadakan efek negative dari hinitis alergi
terhadap kemampuan belajar.
4. Efek kardiotoksisitas
Antihistamin selama ini
dianggap sebagai obat yang aman, tetapi sejak akhir tahun 80-an mulai muncul
beberapa jenis antihistamin yang digunakan dengan dosis yang berlebihan.
Sehingga dapat menyebabkan pasien yang menggunakan mengalami gangguan pada
jantung (kardiotoksisitas).
Kontraindikasi
Antihistamin generasi
pertama:
1. Hipersensitif terhadap
antihistamin khusus atau terkait secara struktural
2. Bayi baru lahir atau
premature
3. Ibu menyusui
4. Narrow-angle glaucoma
5. Stenosing peptic ulcer
6. Hipertropi prostat
simptomatik
7. Bladder neck obstruction
8. Penyumbatan pyloroduodenal
9. Gejala saluran napas atas
(termasuk asma)
10. Pasien yang
menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI)
11. Pasien tua.
Antihistamin generasi
kedua dan ketiga :
Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara
struktural
ANTIHISTAMIN
PENGHAMBAT RESEPTOR H2 (AH2)
Reseptor histamin H2 berperan
dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung, perangsangan jantung.
Beberapa jaringan seperti otot polos pembuluh darah mempunyai kedua reseptor
yaitu H1 dan H2.
Sejak tahun 1978 di
Amerika Serikat telah diteliti peran potensial antihistamin H2cimetidine
untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine ditemukan pula sebagai
antihistamin H2. Baik simetidin maupun raditidin diberikan dalam
bentuk oral untuk mengobati penyakit kulit. Kedua obat tersedia dalam bentuk
injeksi intramuskular dan intravena.
STRATEGI TERAPI
ANTIHISTAMIN ” AM-PM”
Keputusan untuk memilih
suatu antihistamin untuk mengatasi gangguan alergi semisal rhinitis alergica
atau urtikaria idiosinkratik kronik harus berdasarkan pada harga, frekuensi
dosis, ketersediaan, kontraindikasi, dan efek samping. Semua antihistamin
generasi pertama kini telah ada dalam sediaan generik serta sediaan OTC dengan
harga lebih murah. Namun tidak demikian halnya dengan antihistamin generasi kedua
dan ketiga. Masalah perbedaan harga ini menjadi suatu pertimbangan.
Meski sedikit lebih
mahal, antihistamin generasi kedua dan ketiga secara klinis menunjukkan efikasi
tanpa efek sedatif yang menjadi karakteristik dari generasi pertama. Sebenarnya
rasa sedasi dan drowsiness sangatlah subjektif, hanya dirasakan oleh individu
dan tidak bisa jadi bukti klinis. Sebuah studi mengevaluasi efek fexofenadine,
diphenhydramine, alkohol, dan placebo terhadap kemampuan mengendarai. Subjek
yang memperoleh fexofenadine mampu mengendarai selayaknya placebo. Sedang
subjek yang menerima diphenhydramine memiliki kemampuan mengendarai paling
buruk, diikuti dengan subjek yang menerima alcohol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Udin Sjamsudin, Hedi RD :
Histamin dan Antihistamin dalam Farmakologi Dan Terapi ,edisi 4, Bagian
Farmakologi FKUI, Jakarta, 1995, p. 252-260.
2. Rengganis Iris : Alergi
Merupakan Penyakit Sistemik : Cermin Dunia Kedokteran 2004; 142: 42-45.
3. Del Rosso Q. James :
Antihistamines dalam Systemic Drugs For Skin Disease, W.B. Saunders Company,
United States of America, 1991, p.285-316.
4. Andra : Optimalisasi
terapi Antihistamin dalam Majalah Farmacia, Volume 6, Jakarta, 2006, p.64.
5. Sjabana Dripa :
Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta, 2005, p. 467-487.
Diskusi :
1.
apakah obat antihistamin bisa digunkan sebagai terapi
swamedikasi ? tanpa ada resep dokter??
2.
Antuhistamin memiliki beberapa efek samping , bagaimana cara
agar efek samping nya berkurang saat mengkonsumsi obat tsb?
3.Apa saja sel-sel
penghasil Histamine apabila terjadi inflamasi local?
4bagaimana cara mencegah dan mengatasi efek samping dari obat ini?
5.apa saja farktor utama yang menyebabkan terjadinya efek samping?
6. bagaimana rute pemberian obat yang dapat menimbulkan terjadinya syok anafilaksis pada pasien yang sensistif?